Pages

Sabtu, 06 Desember 2014

Gichin Funakoshi (Bagian-8 episode terakhir)

Sejak awal Funakoshi tidak pernah menyetujui perpecahan apapun dalam karatenya. Jika lantas menyetujui dibentuknya JKA, itu karena semata-mata tujuan positif yang dibawa oleh organisasi ini. Dalam pandangannya para praktisi karate di Jepang seharusnya bersatu hingga bisa memberi manfaat pada orang banyak. Meski JKA telah dibentuk tahun 1949, namun baru tanggal 10 April 1957 Menteri Pendidikan Jepang memberikan legalitas pada JKA sebagai sebuah organisasi.

Menjawab banyaknya permintaan akan instruktur karate, maka di tahun 1953 Funakoshi mengirimkan beberapa murid terbaiknya ke Amerika. Mereka yang terpilih adalah Masatoshi Nakayama, Hidetaka Nishiyama dan Tsutomu Ohshima. Sebelumnya mereka juga sukses memberikan demonstrasi karate bagi pasukan Amerika saat masih di Jepang. Rencananya selama tiga bulan mereka akan menjadi instruktur di Amerika.

Tahun 1954 seluruh tokoh bela diri Jepang merasa perlu untuk kembali melakukan demonstrasi. Acara yang digelar di Tokyo itu ditujukan untuk memulihkan kembali semangat masyarakat Jepang pasca perang. Tiga nama yang terpilih dalam acara itu adalah Mifune dari judo, Nakayama dari kendo dan Funakoshi dari karate. Di usianya yang sudah 86 tahun, tidak menghalangi Funakoshi untuk tidak memenuhi undangan itu. Demonstrasi kata dari Funakoshi mendapat apresiasi luar biasa hingga semua penonton berdiri dan bertepuk tangan untuknya.

Tanggal 26 April 1957 dunia bela diri Jepang berduka. Dalam ketenangan tidurnya Gichin Funakoshi meninggal dunia di usia 89 tahun. Sebuah upacara penghormatan terakhir untuk Funakoshi dilakukan di Ryogoku Kokugikan dan dihadiri tidak kurang dari 20.000 orang. Sebagai ucapan terima kasih dan penghormatan bagi sang maestro, Pemerintah Jepang lalu membangun sebuah memorial di Kuil Enkakuji di Kamakura. Di monumen itu tertulis sebuah kalimat, “karate ni sente nashi” yang berarti, “karate tidak mengenal sikap menyerang lebih dulu.” 


IMPRESI AKHIR


Kisah hidup Funakoshi sebagai legenda karate memang jauh dari menyenangkan. Tapi di dunia ini manusia manapun tidak pernah tahu akan takdirnya. Siapa yang menyangka anak muda yang sakit-sakitan dan diperkirakan tidak berumur panjang ini akan menjadi orang ternama? Bahkan Funakoshi sendiri tidak pernah memilih menjadi orang terkenal. Ketika Funakoshi bertemu dengan gurunya, yang dipikirkannya hanya menyukai karate dan menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya.

Tidak ada sambutan apalagi karpet merah bagi Funakoshi saat membawa misi besar dari Okinawa ke Jepang. Tiba di Jepang Funakoshi justru menjadi tukang kebun yang harus menyapu dan mengepel setiap sudut asrama. Yang mengagumkan, Funakoshi tidak mengeluh apalagi malu dengan pekerjaannya itu. Di tengah kesulitan hidup Funakoshi senantiasa bersyukur. Jika ada yang disesalinya adalah dirinya masih serba kekurangan hingga tidak mampu mengirimkan uang pada keluarganya. 

Gichin Funakoshi bersiap dalam salah satu rangkaian demonstrasi terakhirnya di Tokyo. Foto berasal dari Shotokanmag.

Bagi sebagian orang yang pernah mengenalnya, figur Funakoshi sangat mengagumkan. Sosoknya hangat, bersahaja, rendah hati dan menyukai kebersihan. Ketika disapa Funakoshi akan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan kemudian dia merangkul lawan bicaranya. Ketika di dojo Funakoshi selalu tersenyum dan menyapa setiap muridnya. Gaya mengajarnya memang tegas dan disiplin, namun dia akan berubah menjadi orang tua yang ramah seusai latihan.  

Umumnya seorang ahli karate akan mendemonstrasikan kebolehannya berduel dengan binatang atau lawan yang lebih kuat. Funakoshi justru sebaliknya. Cara pandang Funakoshi ini dipengaruhi oleh gurunya yaitu Azato dan Itosu. Mereka sudah terkenal mahir karate, tidak terkalahkan, tapi tetap berhati-hati dengan tekniknya. Karate adalah sebuah pilihan terakhir ketika cara lain sudah tertutup.

Funakoshi lebih mementingkan kata daripada kumite. Baginya dalam kata tersimpan rahasia dari semua teknik karate. Kata juga merupakan filsafat, karena itu dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menguasainya. Apa yang menjadi keyakinannya ini kemudian terbukti. Bahkan di usianya yang sudah lanjut Funakoshi masih mempunyai pertahanan yang hebat. Dan ini diketahui dari orang-orang yang pernah bertanding atau berlatih bersamanya.

Funakoshi menghargai apapun yang terjadi dalam hidupnya. Hancurnya dojo Shotokan, kematian murid-muridnya, kehilangan anak dan istri, tidak menyurutkan langkahnya untuk terus maju. Totalitasnya dalam karate tidak perlu diragukan lagi. Adalah hal yang wajar jika pemerintah Jepang memberikan penghormatan untuk tukang kebun yang sederhana ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari perjalanan hidupnya.

Gichin Funakoshi (Bagian-7)

Yang jelas, metode berlatih karate mengalami perubahan besar. Jika sebelumnya hanya kata, maka dalam masa perang setiap harinya hanya diisi kihon dan kumite. Kihon dipilih karena gerakannya lebih sederhana sehingga dianggap lebih praktis. Yang sangat berbeda adalah kumite yang kali ini diperbolehkan kontak fisik. Latihan yang lebih pantas disebut berkelahi ini sangat keras dan menuntut semua prajurit mengeluarkan tenaga maksimal. Sehingga pemandangan pemuda yang berlatih masih dibalut perban saat itu adalah hal biasa

Karena banyak pemuda yang pergi demi mengangkat senjata, membuat dojo-dojo di universitas menjadi sepi. Funakoshi masih ingat betapa banyak muridnya yang berlutut dan berpamitan di hadapannya. Tentu saja banyak yang mati akibat perang, dan kenyataan pahit ini menyisakan kesedihan mendalam di hati Funakoshi. Masih terbayang di benak Funakoshi betapa ramai dan rajin murid-muridnya berlatih di dojo. Tapi kini hampir setiap hari Funakoshi menerima kabar kematian murid-muridnya.

Tahun 1941 menjadi awal berkobarnya Perang Dunia II. Saat itu kapal induk Amerika yaitu Pearl Harbour merapat ke perairan Jepang. Kehidupan di Jepang menjadi serba sulit, tidak terkecuali karate. Meski demikian, Funakoshi masih mampu menerbitkan bukunya yaitu “Karate-do Nyumon.” Dalam buku ini Funakoshi menulis bagian sejarah, sedangkan untuk teknik dibantu oleh Yoshitaka. Karate-do Nyumon memuat banyak kisah yang ditulis dengan gaya bahasa yang menarik dan masih dicetak ulang hingga kini.

Tahun 1945 menjadi puncak dari semua bencana akibat perang. Bulan April dojo Shotokan yang telah dibangun susah payah hancur akibat serangan bom pasukan sekutu. Banyak yang mengira latihan di dojo utama itu sudah tidak ada lagi dan karate Funakoshi sudah tamat. Belum usai satu masalah, di bulan Nopember Yoshitaka yang sudah mengidap tuberkolosis akut harus berakhir hidupnya. Yoshitaka sebelumnya telah dinyatakan dokter akan sulit bertahan dari penyakit mengerikan ini.

Setelah kematian anaknya, Funakoshi memutuskan meninggalkan Tokyo dan kembali ke Oite di Kyushu. Funakoshi berharap masih bisa menemui istrinya kembali. Mereka berpisah saat Funakoshi memutuskan untuk mengembangkan karate di Tokyo karena istrinya memilih bertahan di Shuri. Hanya dalam waktu tiga bulan saja, perang besar itu telah menewaskan tidak kurang dari 260.000 penduduk Okinawa. Ini karena pemerintah Jepang menggunakan Okinawa sebagai garis depan sebelum pasukan sekutu menembus Jepang daratan.

Banyaknya wanita dan anak-anak yang menjadi korban membuat Funakoshi cemas akan keselamatan istrinya. Penduduk Okinawa yang masih hidup kemudian mengungsi ke pulau Kyushu. Di pengungsian itulah Funakoshi berhasil bertemu kembali dengan istrinya. Funakoshi lalu memutuskan untuk menemani istrinya hingga hari kematiannya di tahun 1947.

BANGKITNYA KEMBALI KARATE
 

Musibah yang beruntun membuat Funakoshi tidak kuasa menahan kesedihannya. Kehidupannnya berada di titik nadir terendah, tapi Funakoshi sadar putus asa dan menyesal bukanlah jawabannya. Masih banyak orang di Tokyo yang menunggunya kembali. Selalu masih ada harapan untuk diraih dan karena itu Funakoshi memutuskan untuk berjuang kembali di Tokyo.

Dalam perjalanannya ke Tokyo di tiap stasiun kereta Funakoshi telah ditunggu oleh bekas murid-muridnya. Sebagian dari mereka bahkan sudah tidak mampu diingat oleh Funakoshi. Mereka yang disangka telah mati dalam perang kini berdiri untuk menunggunya. Diantara mereka bahkan ada yang sudah berpisah dengan Funakoshi hampir dua puluh tahun lamanya. Saat menerima ucapan belasungkawa dari murid-muridnya, Funakoshi yang biasanya tegar tidak kuasa menahan haru hingga menitikkan air mata.

Bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 membuat Jepang luluh lantak. Bangunan yang hancur memang tidak terhitung namun tidak sebanding dengan trauma mental para korbannya. Bom super dahsyat itu akhirnya sukses mengubur ambisi Jepang untuk menjadi negara terkuat di Asia.     

Gichin Funakoshi (paling kanan) tiba di Tokyo sekembalinya dari Okinawa bersama dengan Kenwa Mabuni (tengah) dan Sakio Ken (paling kiri). 

Pasukan sekutu yang menduduki Jepang kemudian melarang segala bentuk latihan bela diri karena khawatir akan terjadi perlawanan lagi. Beruntung, karena hubungan baik antara Funakoshi dengan Menteri Pendidikan membuat latihan karate diijinkan. Apalagi sebelumnya karate telah dimasukkan dalam pendidikan jasmani. Sehingga latihan karate pasca perang dianggap sebagai bagian pelajaran olah raga.

Walau tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, sedikit demi sedikit aktivitas karate mulai bergeliat. Bahkan ada juga prajurit Amerika yang ikut dalam latihan ini. Mereka sengaja mengundang beberapa instruktur bela diri Jepang yang terbaik ke Kodokan. Setelah para prajurit itu kembali ke negaranya, Funakoshi banyak menerima surat dari orang Amerika yang ingin menjadi muridnya. Hal ini kemudian mempermudah jalan bagi karate masuk ke benua Amerika dan Eropa di kemudian hari.

Tahun 1949 Isao Obata dan beberapa murid Funakoshi yang paling senior mengusulkan sebuah organisasi untuk menyatukan seluruh praktisi karate di Jepang. Asosiasi itu kemudian diberi nama Nippon Karate Kyokai (NKK) atau Japan Karate Karate Association (JKA). Dalam organisasi itu Funakoshi menjabat sebagai shuseki shihan atau guru besar. Tujuan lain JKA adalah mempromosikan semangat karate ke penjuru Jepang dan dunia.

Gichin Funakoshi (Bagian-6)

Dari sekian banyak orang yang membantu Funakoshi adalah Yoshitaka yang paling menonjol. Anak ketiga Funakoshi ini banyak memberikan inovasi baru dalam karate moderen. Yang paling kelihatan adalah penggunaan kuda-kuda rendah seperti apa yang terlihat dalam Shotokan pada hari ini. Selain itu adalah variasi tendangan seperti ushiro geri dan yoko geri kekomi yang sebelumnya tidak pernah ada dalam karate Okinawa. Yoshitaka juga memperkenalkan model kumite yang baru sepertikihon kumite dan jiyu kumite.   

Sebagai salah satu pendukung setia dari Funakoshi, nama Ohtsuka Hironori juga tidak bisa diabaikan. Anak muda berbakat ini sudah belajar jujitsu dan kendo sejak kecil. Sayangnya, setelah sekian lama mengikuti Funakoshi, akhirnya Ohtsuka memutuskan untuk meninggalkannya. Alasannya tidak begitu jelas, ada yang menyebut akibat pertentangan dengan cara mengajar Yoshitaka yang keras. Sementara sumber lain menyebut Ohtsuka terlalu banyak memasukkan jujitsu dalam karate.

Saat itu Ohtsuka bertindak sebagai asisten di dojo Meiseijuku. Konon karena tiap hari hanya diisi latihan kata, kebanyakan murid menjadi bosan. Untuk mengatasi masalah itu Ohtsuka memperkenalkan ippon kumite (satu teknik) dan sanbon kumite (tiga teknik). Alasan Ohtsuka adalah dia merasa ada yang hilang dari gaya karate Funakoshi dan latihan kata saja tidak cukup efektif. Sebelumnya Ohtsuka juga sempat membicarakan masalah itu dengan ahli karate lain seperti Choki Motobu dan Kenwa Mabuni.

Walau alasan dibalik mundurnya Ohtsuka masih spekulatif, yang jelas tahun 1934 dia mendirikan Wado-ryu (jalan yang selaras). Ada yang menyebut arti nama Wado-ryu menyindir perseteruan antara Ohtsuka dengan Yoshitaka. Ketika Funakoshi mengetahui keluarnya Ohtsuka, dalam salah satu bukunya dia menyatakan bahwa Ohtsuka terlalu banyak memasukkan unsur jujitsu hingga mengubah esensi dari karate. Di luar isu yang beredar, di kemudian hari Wado-ryu ternyata juga berhasil menjadi 4 besar karate Jepang.


HARAPAN BARU DARI DOJO SHOTOKAN
 

Meski karate telah populer di Jepang, Funakoshi masih belum mempunyai dojo sendiri. Padahal dojo utama sangat penting artinya untuk menyatukan seluruh dojo cabang. Tapi saat itu sangat sulit mengumpulkan dana bagi pembangunan dojo ini. Karena kesibukannya, tahun 1935 Funakoshi membentuk Shotokai. Panitia kecil ini bertugas mengumpulkan dana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan rencana pembangunan dojo utama.

Di tengah kesibukan yang luar biasa, Funakoshi mampu menerbitkan bukunya yaitu “Karate-do Kyohan.” Buku yang menjadi bacaan wajib bagi praktisi Shotokan ini memuat 15 kata, teknik dasar dan bela diri. Di buku ini pula Funakoshi mengutarakan alasannya mengubah ideogram karate-do. Karate-do Kyohan adalah buku Funakoshi yang terbaik dan terlaris hingga saat ini. Funakoshi mempersembahkan buku ini juga sebagai ucapan selamat pada karate-do sebagai seni bela diri Jepang yang baru.

Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, tahun 1936 dojo utama itu akhirnya rampung. Funakoshi yang sudah berusia 68 tahun berdiri di depan dojo utama dan memberikan hormat. Setahun kemudian upacara peresmian dojo baru itu dilakukan. Dojo yang terletak di kawasan Zoshigaya Tokyo itu awalnya tidak mempunyai nama. Murid-murid Funakoshi kemudian menganugerahkan nama Shotokan sebagai penghargaan bagi Funakoshi.

Sebuah foto lama dari dojo Shotokan yang diambil sebelum Perang Dunia II.
Setelah dojo utama berdiri, Funakoshi menetapkan kihon, kata dan kumite sebagai materi standar dalam karate. Di luar dugaan, kumite ternyata mendapat antusias luar biasa dari anak muda. Kumite seakan menjadi angin segar bagi mereka yang sudah jenuh dengan latihan karate yang itu-itu saja. Saat itu sering diadakan latihan kumite antar universitas. Bahkan tidak jarang sesama dojo universitas saling mengunjungi satu sama lain dan saling menampilkan teknik kata dan kumite masing-masing.


BENCANA DI MASA PERANG
 

Tahun 1930-an Jepang tengah berusaha menginvasi negara-negara Asia. Tercatat Jepang berhasil menguasai Manchuria (1932) dan Cina (1936). Untuk memenuhi ambisinya itu pemerintah Jepang merekrut anak-anak muda sebagai prajurit. Menjadi prajurit tidak cukup hanya nasionalis dan berani mati saja. Mereka juga harus pandai bela diri karena dipandang sebagai senjata kedua setelah bubuk mesiu. Pemerintah Jepang kemudian mencari ke banyak dojo bela diri. Dari sekian banyak aliran, akhirnya yang terpilih adalah aikido dan karate.   

Morihei Ueshiba adalah tokoh aikido yang ternama saat itu. Teknik Ueshiba sebenarnya sangat baik, namun menjadi kendala ketika muridnya gagal mengeksekusi dalam situasi yang sebenarnya. Teknik aikido juga dianggap terlalu banyak dan mustahil diserap dalam waktu singkat. Oleh pemerintah Jepang aikido dianggap tidak cocok sehingga mereka memutuskan mengambil calon prajurit dari dojo karate.   

Tiga dojo karate yang menjadi kandidat kuat adalah Goju-ryu, Wado-ryu dan Shotokan. Goju-ryu sebetulnya mempunyai teknik yang baik, tapi menekankan pada pernapasan dan Sanchin, sehingga dinilai kurang praktis. Sebaliknya, teknik Wado-ryu dianggap terlalu “ringan.” Pilihan akhirnya jatuh pada dojo Shotokan karena tekniknya yang frontal, cenderung keras dan dinilai bisa menyelesaikan lawan dengan cepat.

Gichin Funakoshi (Bagian-5)

Meski begitu, tidak sedikit pula orang penting yang mendukung langkah Funakoshi ini. Dari kemiliteran ada Admiral Yashiro dan Norikazu Kanna yang sebelumnya mengusulkan kunjungan Pangeran Hirohito ke Okinawa. Masih ada pula Profesor Tononno yang mewakili kalangan akademisi. Dari media surat kabar Okinawa ada Sueyoshi yang memberi dukungan dalam bentuk pemberitaan. Buku pertama Funakoshi banyak didukung karena dianggap sebagai perintis buku bertema karate pada saat itu.   

Tanggal 1 September 1923 gempa hebat melanda wilayah Kanto. Gempa yang masuk dalam sejarah Jepang sebagai salah satu yang terparah itu menimbulkan kerusakan dimana-mana. Walau dojonya di Meiseijuku masih utuh, banyak murid Funakoshi yang tewas menjadi korban gempa. Funakoshi tidak lagi bisa meneruskan pekerjaannya sebagai penjaga sekolah. Untuk menyambung hidup, Funakoshi lalu bekerja sebagai buruh di bank Daiichi Sogo di Kyobashi.   

Karena Funakoshi tidak bisa menggunakan dojonya di Meiseijuku, seorang instruktur kendo ternama yaitu Hiromichi Nakayama menawari Funakoshi untuk menggunakan dojonya ketika kosong. Tindakan Nakayama ini sebetulnya sangat terpuji, tapi saat itu mengijinkan dojo dipakai bela diri lain dianggap sebagai hal yang kurang pantas. Uniknya, selama masa sulit itu ada juga pegulat sumo yang belajar karate pada Funakoshi.


PERUBAHAN SISTEM PERINGKAT DAN NAMA KATA


Perkenalan dengan Kano rupanya menginspirasi Funakoshi untuk merubah sistem peringkat karate. Funakoshi mengadaptasi sistem Yudansha (sabuk hitam) dan Mudansha (di bawah sabuk hitam). Model baju karate yang sebelumnya masih tradisional ala Okinawa diganti dengan model baru seperti apa yang terlihat pada hari ini.  

Setelah sempat dipromosikan sebelumnya, akhirnya di bulan April 1924 Shinkin Gima menerima peringkat shodan dari Funakoshi. Upaya Funakoshi ini bukan tanpa alasan. Langkah itu adalah tahap awal penyesuaian atas permintaan Dai Nippon Butokukai (Asosiasi Bela Diri Jepang). Saat itu selain nama, setiap aliran bela diri wajib mempunyai identitas yang jelas untuk keperluan standarisasi.

Ketika datang ke Jepang Funakoshi mengajarkan 15 kata yaitu 5 Pinan, 3 Naihanchi, Kushanku, Seishan, Passai, Wanshu, Chinto, Jitte dan Jion. Funakoshi selalu menekankan murid-muridnya untuk menguasai dasar sebelum meningkat pada teknik tingkat lanjut. Selama di Jepang Funakoshi juga membawa muridnya berlatih pada ahli karate lain (terutama Kenwa Mabuni, Shito-ryu). Dari sanalah jumlah kata dalam Shotokan sedikit demi sedikit mulai bertambah.


Gichin Funakoshi (keempat dari kiri) dalam pertemuan bersama para tokoh karate di Tokyo sekitar tahun 1930-an.

Banyak orang meyakini jika Funakoshi sebenarnya menguasai lebih dari sekedar 15 kata. Hal ini berdasarkan pengalamannya yang belajar pada banyak orang. Selain dari Azato dan Itosu, ternyata Funakoshi juga pernah belajar pada Kanryo Higashionna, seorang tokoh penting dalam Goju-ryu. Ada pula Kiyuna Peichin yang terkenal dengan pukulannya yang hebat. Yang terakhir adalah Sokon Matsumura, tokoh sentral karate yang menguasai begitu banyak kata.     

Banyak yang bertanya mengapa Funakoshi hanya mengajarkan 15 kata? Ini karena Funakoshi memilih kata yang baginya lebih condong pada bela diri. Baginya karate lebih dari sekedar memukul dan menendang. Funakoshi juga menyatakan keinginannya agar karate dapat tampil sederhana baik teknik dan filosofinya sehingga bisa dipelajari semua orang. Bagi Funakoshi rahasia karate mustahil ditemukan oleh orang yang hanya mengejar kekuatan semata. 

Sejak Funakoshi mengemukakan pendapatnya ini, konsep karate telah berubah dari “karate-jutsu” menjadi “karate-do.” Karate telah berubah dari sekedar teknik untuk mengalahkan lawan menjadi seni bela diri yang berfilosofi jalan hidup. Walau pendapatnya membawa perubahan besar, Funakosh belum mempublikasikannya secara resmi.


MASA AWAL KEEMASAN KARATE


Usaha Funakoshi untuk mengembangkan karate di Jepang ternyata disambut baik. Banyak dojo karate dibuka di sekolah hingga universitas. Bahkan ada juga pusat perbelanjaan dan perusahaan jasa kereta api di Tokyo yang membuka dojo bagi pegawainya. Begitu antusiasnya orang Jepang dengan karate sampai-sampai sulit ditemukan tempat kosong untuk berlatih.

Tahun 1924 Profesor Kasuya seorang staf pengajar Bahasa Jerman di Universitas Keio meminta Funakoshi mengajar karate bagi mahasiswanya. Permintaan itu disanggupi dan dojo di Keio berada dibawah pengawasan dari Funakoshi sendiri. Hingga kini dojo di Keio masih aktif. Tahun 1926 Universitas Tokyo juga resmi membuka dojonya. Masih di tahun yang sama, Funakoshi menerbitkan bukunya “Renten Goshin Karate Jutsu.” Buku ini sebenarnya adalah buku “Ryukyu Kenpo: Tode” yang diterbitkan ulang.

Funakoshi juga membuka dojo di Shichi Tokudo yang letaknya di barak istana. Sayangnya akibat sebuah insiden membuat Funakoshi berhenti mengajar di sana. Ini karena beberapa murid mengusulkan latihan jiyu kumite dengan memakai pelindung badan ala kendo. Funakoshi yang sejak awal menentang berbagai bentuk kompetisi tidak bisa menerima pendapat itu. Apalagi saat itu kumite dalam karate bukanlah hal yang lazim.

Tidak terasa hanya dalam waktu empat tahun saja jumlah dojo universitas kian menjamur. Karena tidak mungkin mengatasi semuanya, Funakoshi dibantu oleh Yoshitaka Funakoshi dan Shigeru Egami (kelak memimpin Shotokai). Di sela kesibukannya sebagai instruktur, Funakohi bersama murid-muridnya masih sempat melakukan demonstrasi karate di penjuru Jepang. 

Gichin Funakoshi (Bagian-4)

Akhir tahun 1921 Funakoshi mendapat undangan dari Menteri Pendidikan Jepang untuk demonstrasi karate. Acara itu dilakukan di Sekolah Umum Wanita Monbasho pada awal musim panas di bulan Mei tahun 1922. Funakoshi memperagakan berbagai teknik dasar seperti kuda-kuda, gerakan kata, gerakan kaki dan tangan.

Saat demonstrasi berlangsung banyak wartawan yang mengambil foto Funakoshi dari dekat. Setelah acara selesai Funakoshi didekati oleh salah satu anggota keluarga Sho dari dinasti Shotai yang merupakan raja terakhir di Okinawa. Orang yang tidak disebutkan namanya itu menyarankan Funakoshi agar memperpanjang kunjungannya di Jepang. Funakoshi menerima saran itu dan memutuskan tinggal di Jepang selama beberapa minggu. 

Demonstrasi karate di Monbasho membuat nama Funakoshi kian terkenal di Jepang. Beritanya bahkan banyak dimuat di surat kabar Jepang. Hal itu membuat Funakoshi didatangi banyak orang yang meminta untuk diajari karate. Biarpun terbilang cukup repot, Funakoshi melakukannya dengan senang hati. Apalagi Funakoshi ingin melihat karate Okinawa dapat sejajar dengan bela diri Jepang seperti judo dan kendo.

Di awal kedatangannya di Jepang Funakoshi berjumpa dengan Shinkin Gima, seorang pemuda berbakat asal Okinawa yang kelak banyak membantu perjuangannya. Gima yang saat itu tengah menempuh pendidikan di Shoka Daigaku (sekarang Universitas Hitotsubashi) pernah belajar karate pada Yabu Kentsu dan Yasutsune Itosu.

Masih di tahun 1922, Jigoro Kano sebagai pendiri Judo tertarik dengan karate setelah membaca tulisan-tulisan Funakoshi. Di luar kesibukannya sebagai instruktur, Funakoshi memang banyak menulis artikel tentang karate di surat kabar. Kano kemudian mengundang Funakoshi ke honbu (dojo utama) miliknya yaitu Kodokan. Funakoshi memenuhi undangan itu dengan ditemani oleh Shinkin Gima.

Acara itu tidak digelar besar-besaran dan hanya disaksikan oleh sekitar seratus orang saja. Funakoshi memperagakan kata favoritnya yaitu Kushanku Dai, sedangkan Shinkin Gima memperagakan kata Naihanchi Shodan. Sebagai pelengkap mereka juga memperagakan beberapa teknik dari kihon kumite.

Kano ternyata puas dengan demonstrasi itu. Dia lalu meminta Funakoshi mengajarinya teknik karate. Tapi ketika mendengar butuh waktu setidaknya setahun untuk belajar, dia lalu hanya meminta diajari teknik dasar. 


LAHIRNYA SIMBOL “TORA NO MAKI”


Beberapa waktu kemudian Funakoshi berpikir untuk pulang ke Okinawa. Tapi niat itu harus kembali tertunda setelah seorang pelukis terkenal bernama Hoan Kosugi mendatanginya. Sebelumnya Kosugi pernah ke Okinawa untuk sebuah ekspedisi dan tidak sengaja melihat karate. Sekembalinya ke Tokyo, dia ingin belajar karate namun kesulitan menemukan buku apalagi instruktur.

Funakoshi diminta mengajar karate bagi anggota perkumpulan Tabata. Sebuah klub para pelukis dimana Kosugi adalah ketuanya. Tapi pertemuan dengan Kosugi juga membawa keberuntungan lain untuk Funakoshi. Dari tangan Kosugi simbol harimau “Tora no Maki” berhasil dilukis. Makna dari “Tora no Maki” adalah merujuk pada filsafat Cina kuno yang mengatakan bahwa seekor harimau senantiasa waspada.

Kosugi tidak pernah mengetahui kebiasaan Funakoshi di masa lalu yang kerap mendaki gunung Torao (yang berarti ekor harimau). Sehingga ketika Funakoshi melihat lukisan harimau karya Kosugi dia menganggapnya bukan sebuah kebetulan semata. Dia sangat menghargai hasil karya itu dan berniat membayarnya. Tapi Kosugi menolaknya dan lebih memilih agar Funakoshi mengajarinya karate berikut filosofi mulia didalamnya. Funakoshi merasa terharu dan merekapun menjalin pertemanan baik. 

Lukisan original "Tora no Maki" atau "Sang Harimau yang Senantiasa Waspada." Dua tanda mirip bintang di dekat ekor adalah tanda tangan Hoan Kosugi.  


AWAL PERJUANGAN DI JEPANG


Diterima di perkumpulan Tabata telah membuat Funakoshi berpikir untuk lebih serius menyebarkan karate di Jepang. Awalnya dia sempat bimbang dan kemudian mengirim surat pada istrinya. Syukurlah, istrinya mau mengerti dan bersedia mendukung keputusan suaminya. Tapi tetap saja hal itu bukan perkara mudah, apalagi saat itu di Jepang Funakoshi adalah orang asing.     

Karena tidak punya banyak uang, selama di Jepang Funakoshi tinggal di Meisei Juku, sebuah asrama untuk pelajar Okinawa di Suidobata. Funakoshi tinggal di sebuah kamar sederhana yang terletak di samping jalan masuk asrama. Siang hari ketika para murid sedang belajar di kelas Funakoshi bekerja sebagai tukang kebun dan membersihkan asrama. Di malam hari dia mengajar karate sekaligus bekerja sebagai penjaga.

“Di Meisei Juku aku diijinkan memakai aula asrama sebagai dojo sementara ketika tidak dipakai para murid. Namun demikian, uang menjadi masalah yang serius. Aku belum berpenghasilan, keluargaku di Okinawa tidak bisa mengirim uang kemari, dan saat itu aku tidak bisa menarik sponsor karena di Jepang karate masih begitu asing.”

“Aku hanya mempunyai sedikit murid dan uang yang kudapat tidak cukup untuk makan. Aku membujuk koki asrama dengan mengajarinya karate. Sebagai gantinya, dia memberiku potongan harga untuk biaya makan bulanan. Hidup saat itu benar-benar sulit, tapi bertahun-tahun kemudian saat kuingat kembali, hal itu adalah sebuah kisah yang menarik.”

Di tengah himpitan hidup, Funakoshi berhasil menyelesaikan buku pertamanya yang berjudul “Ryukyu Kenpo: Tode.” Pada sampul depannya menggunakan lukisan harimau “Tora no Maki” karya Kosugi. Dalam buku ini pula Funakoshi menuliskan huruf kanji karate dengan huruf yang berbeda dari sebelumnya.

Tindakan Funakoshi yang mengubah huruf kanji karate itu sontak memicu kontroversi. Banyak ahli karate asal Okinawa yang merasa “marah.” Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena ratusan tahun sebelumnya penulisan karate memakai huruf yang bermakna Cina. Hal itu dilakukan karena masyarakat Okinawa di masa lalu menghargai budaya Cina sebagai hal yang istimewa.

Gichin Funakoshi (Bagian-3)

Setelah seharian diisi dengan mengajar di sekolah dan ditambah latihan karate yang menguras tenaga, Funakoshi meluangkan waktunya mendaki gunung Torao. Gunung yang ditumbuhi banyak pohon cemara ini jika dilihat dari kejauhan seperti ekor harimau. Pada kenyataannya, nama “Torao” memang berarti “ekor harimau.”

Saat duduk melakukan meditasi di sana, Funakoshi merasakan segarnya desir angin di sela-sela daun cemara. Hal itu menumbuhkan inspirasinya dengan membubuhkan stempel bertuliskan “shoto” di akhir syair yang ditulisnya. Arti “shoto” adalah bagaikan pohon cemara yang melambai. Kebiasaan membubuhkan stempel ini sebenarnya ditiru Funakoshi dari Azato yang selalu menuliskan “rinkakusai” di akhir tulisannya.



DEMONSTRASI KARATE YANG PERTAMA

Tahun 1901 menjadi tonggak bersejarah dalam dunia karate Okinawa karena berlatih di muka umum sudah tidak dilarang lagi. Peristiwa itu diawali tahun 1902 setelah Shintaro Ogawa, salah satu pejabat pendidikan dari Jepang hadir di Okinawa. Dia hadir untuk menyaksikan demonstrasi karate yang dilakukan oleh Yasutsune Itosu bersama murid-muridnya (termasuk Funakoshi).

Acara itu berjalan sukses. Ogawa agaknya terkesan dengan karate, karena setelah itu dia melayangkan laporan pada Menteri Pendidikan Jepang. Hasilnya karate kemudian dimasukkan sebagai pelajaran wajib di sekolah. Mulanya karate tidak berdiri sendiri karena termasuk dalam pendidikan jasmani.   

Sebagai bapak karate Okinawa, Itosu kemudian menjadi instruktur karate yang pertama di sekolah dasar Shuri Jinjo. Dilanjutkan dengan sekolah menengah Dai Ichi dan sekolah umum Okinawa di tahun 1905. Funakoshi juga banyak membantu Itosu sebagai wakil instruktur. Konon untuk mempermudah cara mengajarnya, Itosu memecah kata Kushanku menjadi lima kata Pinan.

Berkat kemampuan mediasi yang baik, seni menulis kaligrafi dan ilmu filsafat Cina, Funakoshi kemudian dipilih sebagai ketua Shobukai (Asosiasi Bela Diri Okinawa). Dengan posisi ini kelak akan membuka jalan bagi Funakoshi sebagai orang yang terpilih untuk mendemonstrasikan karate di Jepang.


Sebuah foto lama halaman depan Istana Shuri sebelum dihancurkan dalam Perang Dunia II. Foto diambil oleh Kamakura Yoshitarou. Sumber foto dari Japanfocus.  


Tahun 1912 Admiral Rokuro Yashiro dari angkatan laut Jepang datang ke Okinawa. Kunjungan Yashiro itu juga dipengaruhi surat Itosu tentang Tode Jukun (10 prinsip berlatih karate) untuk Menteri Pendidikan Jepang. Yashiro menyaksikan dari dekat demonstrasi karate yang dilakukan murid-murid Funakoshi di sekolah dasar. Tampaknya dia begitu puas dengan acara itu hingga awak kapalnya diperintahkan untuk belajar karate.

Sejak kunjungan Yashiro, Okinawa banyak disinggahi utusan dari kemiliteran Jepang. Beberapa dari mereka bahkan menetap untuk sementara di asrama-asrama sekolah. Kira-kira selama seminggu mereka belajar karate sebelum kembali ke Jepang.

Tahun 1914 sampai 1915 Funakoshi bersama ahli karate lainnya disibukkan dengan demonstrasi karate di seluruh Okinawa. Upaya ini dilakukan untuk mengikis pendapat masyarakat Okinawa yang masih memandang karate sebagai hal yang tidak boleh dipamerkan. Untuk keperluan itu Funakoshi membentuk kelompok sekitar 25 orang yang diantaranya adalah tokoh karate ternama antara lain: Kenwa Mabuni dan Chotoku Kyan.


KARATE MEMASUKI JEPANG


Impian terbesar Itosu adalah memperkenalkan karate keluar Okinawa agar bisa dipelajari banyak orang. Sayang sekali hal itu tidak terwujud karena tahun 1915 Itosu meninggal dunia. Funakoshi sangat sedih dengan kematian guru kesayangannya itu. Namun demikian dia bertekad untuk meneruskan cita-cita Itosu. 

Dua tahun kemudian kesempatan itu tiba. Tahun 1917 Dai Nippon Butokukai di Kyoto mengundang wakil Okinawa untuk turut serta dalam festival bela diri bertajuk “Butoku Sai” yang diadakan di aula Butokuden. Sebagai Asosiasi Bela Diri Jepang, Butokukai adalah pusat berkumpulnya berbagai bela diri Jepang, baik dari gaya lama maupun yang baru. Gichin Funakoshi dan Shinko Matayoshi (ahli kobudo) kemudian dipilih untuk acara itu.

Aula Butokuden saat ini. Tampak beberapa praktisi kendo sedang menempuh ujian tingkat. Foto berasal dari Wikipedia


Beberapa kalangan puas dengan demonstrasi Funakoshi, tapi tidak sedikit pula yang menanggapinya dingin. Hal itu karena orang Jepang lebih berminat dengan bela diri bersenjata khas Jepang seperti kendo dan iaido sebagai penerus gaya samurai. Alasan lain adalah pandangan miring publik Jepang pada wilayah Okinawa. Masyarakat Okinawa yang umumnya petani dan nelayan dianggap tidak sebanding dengan orang Jepang yang lebih maju.

Empat tahun setelah acara itu, Pangeran Hirohito yang dalam perjalanan ke Eropa singgah di dermaga Nakagushiku Okinawa. Kunjungan itu sebenarnya atas saran Norikazu Kanna, pejabat militer Jepang asal Okinawa yang juga ikut dalam lawatan itu. Di balai utama Istana Shuri sang pangeran menyaksikan demonstrasi karate dari Gichin Funakoshi, Chojun Miyagi dan Shinko Matayoshi.

Di luar dugaan, sang pangeran ternyata sangat menikmatinya. Funakoshi mengatakan bahwa selama di Okinawa sang pangeran terpesona dengan tiga hal, yaitu: pemandangan yang indah, aliran naga dari sumber mata air di Istana Shuri, dan yang terakhir karate. Belakangan berita kunjungan itu juga dimuat di banyak surat kabar Jepang. Hal itu membuat publik Jepang yang tidak tahu demonstrasi karate Funakoshi di Kyoto kian penasaran “apa sebenarnya karate itu?”

Gichin Funakoshi (Bagian-2)

Rambut ikat memang mempunyai arti yang istimewa. Saat Pemerintah Meiji berusaha menghapuskannya, sontak memicu kehebohan yang luar biasa. Bagi masyarakat Okinawa ini adalah keputusan paling gila dalam sejarah. Tentu saja, protes ini umumnya berasal dari kelompok bangsawan yang jelas-jelas akan kehilangan hak khusus mereka. Sebaliknya, masyarakat biasa justru mendukung kebijakan penghapusan tersebut.

Apapun alasannya, Funakoshi sudah gagal ujian. Namun dia tidak berkecil hati dan berusaha mencari jalan yang lain. Berbekal pelajaran filsafat Cina klasik dari kakeknya, Funakoshi berhasil diterima di sebuah sekolah dasar. Usianya ketika itu baru 20 tahun dan sebagai permulaan dia menjadi asisten guru.

Di tengah ramainya kontroversi akan rambut ikat, Funakoshi lalu memutuskan memangkas rambut ikatnya sendiri. Di luar kebutuhannya akan pekerjaan, Funakoshi sadar jika Okinawa saat ini membutuhkan perubahan. Sebuah perubahan jelas butuh pengorbanan dan keberanian. Bagi Funakoshi perubahan ini akan menjembatani Jepang menuju era yang lebih baik.

Funakoshi pulang ke rumah dan berniat memberitahu kedua orang tuanya tentang pekerjaan barunya. Bukannya gembira, ayah dan ibunya justru marah bukan kepalang melihat perubahan pada rambut anak mereka.

“Ayahku tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Apa yang sudah kau lakukan? Kau anak samurai!” Ayahku benar-benar marah. Ibu bahkan jauh lebih marah darinya dan menolak bicara denganku. Dia lalu pergi ke rumah orang tuanya lewat pintu belakang. Aku bisa membayangkan keributan konyol seperti ini pasti juga dialami banyak anak muda yang lainnya.” 

Sambutan yang tidak menggembirakan itu membuat Funakoshi terdiam. Meski tidak mampu berbuat banyak, dia tidak menyesal karena yakin tidak sendirian. Anak muda Okinawa lainnya yang ingin maju pasti mengalami masalah serupa. Funakoshi memantapkan hatinya menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Sebuah pekerjaan yang kelak ditekuni hingga tiga puluh tahun berikutnya.


MASA BEKERJA SEBAGAI SEORANG GURU

Saat itu guru di Okinawa dibedakan menjadi empat kelompok: yaitu yang mengajar di tingkat pertama, kedua, yang bertanggung jawab pada pelatihan khusus dan yang terbawah adalah asisten.

Tidak lama setelah bekerja sebagai asisten guru Funakoshi kemudian menikah. Mereka lalu tinggal di rumah orang tua istrinya. Istri Funakoshi (tidak pernah disebutkan namanya) juga pandai karate. Demi membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup, di siang hari dia bekerja di ladang, sedangkan malam harinya dia bekerja di pabrik tenun. Dalam buku Karate-do Nyumon Funakoshi juga menyebutkan jika istrinya adalah seorang mediator yang pandai.    

Beberapa waktu kemudian Funakoshi lulus ujian sebagai guru di tingkat paling dasar. Dia lalu dipindahkan ke Naha yang merupakan kota pelabuhan yang ramai. Karirnya terus meningkat hingga dipekerjakan sebagai guru di tingkat yang lebih tinggi. Namun demikian promosi guru menjadi lebih sulit karena persaingan kian ketat. Ini karena makin banyaknya lulusan yang masuk ke sekolah-sekolah di Okinawa.

Kepala sekolah lalu menyarankan Funakoshi agar bertugas di tempat lain. Tentunya dengan jabatan yang lebih tinggi sebagai kepala sekolah. Funakoshi menolaknya karena itu berarti dia akan berada di pulau yang terpencil. Mustahil baginya berlatih karate karena jauh dari gurunya yaitu Azato dan Itosu. 


MASA LATIHAN YANG MELELAHKAN

Di sela kesibukannya sebagai seorang guru, Funakoshi rajin mengunjungi rumah Azato. Karena di siang hari harus mengajar, maka latihan di rumah Azato selalu dilakukan malam hari. Biarpun sudah sangat berumur, Azato tidak pernah mengendurkan latihan untuk Funakoshi. Metode latihannya berat dan melelahkan. Dengan hanya ditemani sebuah lentera, dia terlihat serius mengamati setiap gerakan Funakoshi.

Azato selalu meminta Funakoshi mengulang gerakan kata miliknya berkali-kali. Sepintas hal itu sangat membosankan. Namun sebelum Azato benar-benar puas, Funakoshi tidak pernah berani memintanya mengajari gerakan kata yang baru.

“Setelah mengerjakan sebuah kata, aku akan menunggu keputusannya. Dia selalu berkata singkat. Jika tidak puas dengan gerakanku, dia akan berkata, “kerjakan lagi” atau, “sedikit lagi.” Begitu seringnya ulangi lagi, ulangi lagi dan ulangi lagi membuat keringatku mengucur deras dan nyaris membuat tubuhku roboh.”

“Mengerjakan kata berulang kali adalah cara Azato memberitahuku bahwa masih ada yang harus dipelajari. Jika merasa sudah puas, dia akan berkata singkat, “bagus!” Satu pujian itu adalah yang terbaik darinya. Sebelum bisa mendengar pujian itu aku tidak pernah berani memintanya mengajariku kata yang baru.”

Latihan biasanya berakhir sesaat sebelum fajar. Azato yang tadinya tegas akan berubah menjadi orang tua yang ramah. Mirip seperti seorang bapak pada anaknya. Dia akan menjelaskan esensi dari karate atau kadang bertanya tentang kehidupan Funakoshi sebagai guru.

Tidak berbeda dengan Azato, Funakoshi juga harus menjalani latihan yang berat dibawah Itosu. Bagaimana bentuk dan kapan latihan itu sayangnya tidak pernah ditulis Funakoshi dalam bukunya. Yang jelas, Funakoshi harus mengulang kelima kata Heian dan tiga kata Tekki sekitar sepuluh tahun lamanya. Hal itu tidak mengherankankan karena Itosu memegang prinsip “hito kata sannen” atau satu kata dikerjakan tiga tahun.

Gichin Funakoshi (Bagian-1)


AWAL KELAHIRAN
Gichin Funakoshi lahir di Yamakawa, Prefektur Shuri, Okinawa tanggal 10 November 1868. Keluarga Funakoshi masih keturunan dari salah satu bangsawan yang terpelajar di Okinawa. Kakek Funakoshi adalah guru dari anak perempuan kepala desa setempat saat itu. Berkat pekerjaannya itu, kakek Funakoshi dihadiahi sebidang tanah yang cukup luas.

Dengan status sosialnya itu keluarga Funakoshi seharusnya bisa hidup layak. Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi. Ini karena Gisu, ayah Funakoshi, adalah seorang pemabuk berat yang gemar menghabiskan harta keluarga.

Funakoshi lahir sebagai anak yang bertubuh lemah. Kedua orang tuanya sadar jika mereka tidak melakukan sesuatu, maka umur Funakoshi tidak akan panjang. Melihat ekonomi keluarga yang tidak menggembirakan, membuat orang tua Funakoshi kemudian menitipkan anak mereka pada kakek dan neneknya.

Funakoshi sangat disayangi oleh kakek dan neneknya. Selain mendapatkan hidup yang lebih baik, Funakoshi juga belajar ilmu filsafat Konfusianis dari kakeknya. Sebuah pelajaran filsafat kuno yang penting untuk anak-anak dari golongan Shizoku. Ilmu yang dipelajari itu memang tidak gampang, namun kelak akan berguna membantu pekerjaan Funakoshi.

Saat itu masyarakat Okinawa terbagi menjadi dua kelas. Yang pertama adalah Shizoku yang sekelas bangsawan dengan beberapa hak khusus. Golongan ini masih dibagi dua, yaitu Udon sebagai yang tertinggi (sama dengan daimyo atau gubernur di Jepang) dan Tonochi yang merupakan keturunan dari pemimpin sebuah desa atau kota.

Kelas kedua setelah Shizoku adalah golongan Heimin yang berasal dari rakyat jelata. Mereka tidak punya hak khusus dan biasanya bekerja sebagai petani dan nelayan. Karena perbedaan yang sangat jauh sering menimbulkan kecemburuan sosial antara kedua kelas tersebut.


PERJUMPAAN DENGAN SANG GURU

Ketika masuk ke sekolah dasar Funakoshi berteman baik dengan anak laki-laki Yasutsune Azato. Tentu saja hal itu bukan kebetulan, karena akan mempengaruhi perjalanan hidup Funakoshi berikutnya. Belakangan atas rekomendasi dokter bernama Tokashiki, Funakoshi dibawa oleh kedua orang tuanya bertemu dengan Azato. Mereka berharap dengan belajar karate pada Azato akan memperbaiki kesehatan Funakoshi.

Yasutsune Azato mempunyai kedudukan penting dan sangat dihormati penduduk Okinawa. Sebagai seorang kepala militer di Okinawa membuatnya disegani bahkan oleh para daimyo di Jepang. Analisis politiknya juga tajam berkat kedekatannya dengan banyak politikus. Tidak berhenti sampai disitu, Azato juga dikenal sebagai sosok terpelajar yang juga pandai banyak ilmu bela diri seperti karate, memanah, ilmu pedang dan menunggang kuda.

Biarpun begitu, Azato tidak gampang menerima murid. Ini karena Azato menganggap bela diri adalah bela diri, bukan untuk olah raga apalagi pertunjukan. Azato akan menurunkan ilmunya hanya pada orang yang dianggapnya tepat. Dan memang dalam sejarah karate manapun tidak pernah tercatat jika Azato punya murid selain Gichin Funakoshi. Diterimanya Funakoshi menjadi murid Azato adalah sebuah keberuntungan dan takdir yang luar biasa.

Seperti orang tua pada umumnya yang kerepotan menyuruh anaknya belajar, maka begitu pula dengan Azato. Pelajaran filsafat Cina memang sulit dan membosankan, wajar jika anak Azato bermalas-malasan. Tapi untunglah ada Funakoshi yang menjadi teman bermainnya di sekolah. Azato mungkin pejabat terkenal, tapi dia tidak sungkan meminta bantuan Funakoshi untuk mengajari anaknya. Permintaan itu disanggupi oleh Funakoshi, apalagi dia juga sudah menganggap Azato seperti ayah kedua baginya.


Sebuah foto latihan karate di depan Istana Shuri sekitar tahun 1937-an dengan instruktur Shinpan Shiraoma (foto dari Wikipedia) 


Perkenalan dengan Azato membawa Funakoshi pada keberuntungan yang lain. Dia bertemu dengan guru hebat lainnya yaitu Yasutsune Itosu. Pria tangguh ini menyandang gelar “meijin,” yang berarti tak terkalahkan. Baik Azato dan Itosu adalah sahabat dekat dan sudah terkenal sebagai “pasangan emas” di Okinawa berkat kekuatannya. Namun diluar kesamaan nama depannya, gaya bela diri Azato (Shorei-ryu)  berlawanan dengan Itosu (Shorin-ryu).  

Ketika Funakoshi masih anak-anak, latihan karate dilarang keras oleh pemerintah. Orang yang berani melanggar akan ditangkap dengan tuduhan melanggar hukum. Begitu ketatnya aturan itu hingga orang membicarakan karate di muka umum saja tidak berani. Akibatnya dojo karate jumlahnya sedikit dan latihan harus dilakukan malam hari dengan sembunyi-sembunyi.

Berlakunya hukum tersebut sebenarnya adalah imbas dari kejadian di masa lalu. Setelah Okinawa dijajah kaum samurai, para penduduk dilarang memegang senjata. Mereka lalu mengembangkan bela diri tangan kosong sebagai alat pertahanan diri. Berpuluh-puluh tahun kemudian setelah kaum samurai hengkang dari Okinawa, aturan seperti itu masih saja dipertahankan. 


KEGAGALAN YANG PERTAMA

Memasuki usia remaja, Funakoshi mencoba mengikuti ujian masuk ke sekolah kedokteran di Tokyo. Pemerintah Meiji saat itu menetapkan bahwa hanya mereka yang lahir tahun 1870 dan sesudahnya yang bisa mengikuti ujian. Meski karate sangat berarti baginya, Funakoshi tidak ingin menggunakannya sebagai pekerjaan. Demi mengikuti ujian itu Funakoshi lantas memalsukan catatan kelahirannya. Tapi sayang, dia harus gagal dalam ujian itu. 

Kegagalan itu sebenarnya bukan karena nilai Funakoshi tidak cukup. Saat itu laki-laki Okinawa dengan rambut ikat ala samurai dilarang ikut ujian. Bagi masyarakat Okinawa rambut ikat adalah simbol keberanian dan kejantanan. Tapi bagi pemerintah Jepang hal itu adalah simbol feodalisme. Karena Jepang masih dalam masa Restorasi Meiji, maka mereka berusaha menghapuskan segala hal yang dianggap kolot.