Pages

Sabtu, 06 Desember 2014

Gichin Funakoshi (Bagian-8 episode terakhir)

Sejak awal Funakoshi tidak pernah menyetujui perpecahan apapun dalam karatenya. Jika lantas menyetujui dibentuknya JKA, itu karena semata-mata tujuan positif yang dibawa oleh organisasi ini. Dalam pandangannya para praktisi karate di Jepang seharusnya bersatu hingga bisa memberi manfaat pada orang banyak. Meski JKA telah dibentuk tahun 1949, namun baru tanggal 10 April 1957 Menteri Pendidikan Jepang memberikan legalitas pada JKA sebagai sebuah organisasi.

Menjawab banyaknya permintaan akan instruktur karate, maka di tahun 1953 Funakoshi mengirimkan beberapa murid terbaiknya ke Amerika. Mereka yang terpilih adalah Masatoshi Nakayama, Hidetaka Nishiyama dan Tsutomu Ohshima. Sebelumnya mereka juga sukses memberikan demonstrasi karate bagi pasukan Amerika saat masih di Jepang. Rencananya selama tiga bulan mereka akan menjadi instruktur di Amerika.

Tahun 1954 seluruh tokoh bela diri Jepang merasa perlu untuk kembali melakukan demonstrasi. Acara yang digelar di Tokyo itu ditujukan untuk memulihkan kembali semangat masyarakat Jepang pasca perang. Tiga nama yang terpilih dalam acara itu adalah Mifune dari judo, Nakayama dari kendo dan Funakoshi dari karate. Di usianya yang sudah 86 tahun, tidak menghalangi Funakoshi untuk tidak memenuhi undangan itu. Demonstrasi kata dari Funakoshi mendapat apresiasi luar biasa hingga semua penonton berdiri dan bertepuk tangan untuknya.

Tanggal 26 April 1957 dunia bela diri Jepang berduka. Dalam ketenangan tidurnya Gichin Funakoshi meninggal dunia di usia 89 tahun. Sebuah upacara penghormatan terakhir untuk Funakoshi dilakukan di Ryogoku Kokugikan dan dihadiri tidak kurang dari 20.000 orang. Sebagai ucapan terima kasih dan penghormatan bagi sang maestro, Pemerintah Jepang lalu membangun sebuah memorial di Kuil Enkakuji di Kamakura. Di monumen itu tertulis sebuah kalimat, “karate ni sente nashi” yang berarti, “karate tidak mengenal sikap menyerang lebih dulu.” 


IMPRESI AKHIR


Kisah hidup Funakoshi sebagai legenda karate memang jauh dari menyenangkan. Tapi di dunia ini manusia manapun tidak pernah tahu akan takdirnya. Siapa yang menyangka anak muda yang sakit-sakitan dan diperkirakan tidak berumur panjang ini akan menjadi orang ternama? Bahkan Funakoshi sendiri tidak pernah memilih menjadi orang terkenal. Ketika Funakoshi bertemu dengan gurunya, yang dipikirkannya hanya menyukai karate dan menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya.

Tidak ada sambutan apalagi karpet merah bagi Funakoshi saat membawa misi besar dari Okinawa ke Jepang. Tiba di Jepang Funakoshi justru menjadi tukang kebun yang harus menyapu dan mengepel setiap sudut asrama. Yang mengagumkan, Funakoshi tidak mengeluh apalagi malu dengan pekerjaannya itu. Di tengah kesulitan hidup Funakoshi senantiasa bersyukur. Jika ada yang disesalinya adalah dirinya masih serba kekurangan hingga tidak mampu mengirimkan uang pada keluarganya. 

Gichin Funakoshi bersiap dalam salah satu rangkaian demonstrasi terakhirnya di Tokyo. Foto berasal dari Shotokanmag.

Bagi sebagian orang yang pernah mengenalnya, figur Funakoshi sangat mengagumkan. Sosoknya hangat, bersahaja, rendah hati dan menyukai kebersihan. Ketika disapa Funakoshi akan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan kemudian dia merangkul lawan bicaranya. Ketika di dojo Funakoshi selalu tersenyum dan menyapa setiap muridnya. Gaya mengajarnya memang tegas dan disiplin, namun dia akan berubah menjadi orang tua yang ramah seusai latihan.  

Umumnya seorang ahli karate akan mendemonstrasikan kebolehannya berduel dengan binatang atau lawan yang lebih kuat. Funakoshi justru sebaliknya. Cara pandang Funakoshi ini dipengaruhi oleh gurunya yaitu Azato dan Itosu. Mereka sudah terkenal mahir karate, tidak terkalahkan, tapi tetap berhati-hati dengan tekniknya. Karate adalah sebuah pilihan terakhir ketika cara lain sudah tertutup.

Funakoshi lebih mementingkan kata daripada kumite. Baginya dalam kata tersimpan rahasia dari semua teknik karate. Kata juga merupakan filsafat, karena itu dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menguasainya. Apa yang menjadi keyakinannya ini kemudian terbukti. Bahkan di usianya yang sudah lanjut Funakoshi masih mempunyai pertahanan yang hebat. Dan ini diketahui dari orang-orang yang pernah bertanding atau berlatih bersamanya.

Funakoshi menghargai apapun yang terjadi dalam hidupnya. Hancurnya dojo Shotokan, kematian murid-muridnya, kehilangan anak dan istri, tidak menyurutkan langkahnya untuk terus maju. Totalitasnya dalam karate tidak perlu diragukan lagi. Adalah hal yang wajar jika pemerintah Jepang memberikan penghormatan untuk tukang kebun yang sederhana ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari perjalanan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar